Ini adalah cerita pendek yang pernah saya buplish di grup facebook, dan juga di akun wattpad saya www.wattpad.com/wahyu_tri . Silahkan komen kritik dan saran sangat diharapkan. Trimakasih.
__________________________________________________________________________________
Ampuni aku tuhan. Kalimat itu bagaikan sebuah mantera jitu di setiap kesempitan yang menghampiri manusia, hanya dikala hati tak terima akan kenyataan, kita akan mengeluh, mengeluh, dan mengeluh memohon ampun pada sang pencipta agar kesulitannya cepat terganti dengan kebahagiaan.
Abas, laki-laki berusia tiga puluh delapan tahun itu sudah tidak lagi menyebut kata yang seperti mantera bagi sebagian orang. Abas tidak ingat lagi kapan ia meminta ampun pada Tuhannya, bahkan mungkin ia sudah tidak percaya lagi pada tuhan setelah seluruh anggota keluarganya direnggut paksa oleh Dia-yang orang sebut sebagai Tuhan.
Gelombang tsunami menerjang pulau Sumatera dan pesisir utara, pada sepuluh tahun silam, 24 desembet 2004. Saat Abas menanti sebuah kebahagiaan yang ia tunggu lebih dari tujuh tahun, dengan segala upayanya menggunakan berbagai macam cara agar ia dapat memperoleh keturunan. Bahkan dulu ia selalu bertafakur, menghidupkan masjid dan selalu menyembah bersujud memohon pada Tuhan yang kala itu ia masih memegang teguh imannya.
Sejatinya Abas adalah pemuda berbudi baik, taat beribadah, santun, dan selalu menjaga pergaulan untuk tidak terpengaruh oleh arus yang akan menyeret dirinya kelubang neraka jahanam. Ia sangat takut pada tuhannya yang ia yakini ada di mana-mana, melihat setiap sudut gerak-nya dan akan menghukum hamba-Nya yang tidak menaati semua perintah dan larangan-Nya.
Tapi semua berubah saat cobaan itu datang, gelombang tsunami secara tiba-tiba menerjang setiap sudut rumahnya yang terletak di pesisir pantai. Meluluh lantahkan apa yang ada hingga tak bersisa, menyeret ia dan seluruh keluarga besarnya pengapung diantara gelombang dan reruntuhan apa yang telah diterjang-nya.
Kaget. Hanya terdengar jerit tangis dan teriakan menyebut nama tuhan yang menggema di seluruh sudut, tak ada yang bisa menghindar, berlari tunggang-langgang pun tak ada gunanya. Karena nyatanya mereka semua tetap terseret dalam dekapan sang gelombang maha dahsyat. Saat itu pikirannya tak sanggup menjangkau kata waras, hampir gila ia dibuat terkejut bahkan ia pun ikut memanggil nama tuhannya kala itu, saat ia terlelap dalam peluk dinginnya air asin.
Ayah, ibu, istri, dan calon anak yang sebentar lagi akan lahir, karena saat itu ia sedang mengadakan syukuran tujuh bulanan sang istri, beserta seluruh sanak saudara keluarga besar dirinya dan Aisyah istrinya berkumpul merayakan kebahagiaan mereka-Abas dan Aisyah.
***
"Anton sedang apa kau?." suara itu mengejutkan Anton yang tengah bersiap untuk berangkat menuju bandara. Anton menoleh-kan wajahnya mencari sumber suara yang memanggil-nya itu, kemudian ia tersenyum.
"Ke mana saja kau?, dua hari tak nampak. Apa kau baik-baik saja?." tanya-nya kemudian.
Lelaki yang kini di hadapannya hanya mendengus kesal seraya membuang pandangan-nya ke samping.
"Kau seperti tak mengenal-ku saja." balas lelaki itu tenang.
"Abas ... Abas. Mau sampai kapan kau seperti ini?, ayo lah. Kau pun sudah lama tak pernah menengok mereka. Sudahlah, itu sudah berlalu lama." Anton menepuk bahu Abas. Ia sangat tahu seperti apa sahabatnya itu.
Mereka sama-sama menjadi korban keganasan tsunami aceh sepuluh tahun silam, bedanya Anton tidak kehilangan siap pun karena memang dia tidak memiliki apa pun seperti Abas. Anton hidup sebatang kara sejak dia memutuskan untuk keluar dari panti asuhan yang membesarkan-nya di Tidore, dan hijrah ke aceh dua tahun sebelum musibah itu datang. Beruntung saat itu Anton sedang berada di Malaysia, bekerja sebagai kuli bangunan di sana, sehingga ia tidak mengalami hal buruk seperti sahabatnya itu. Baru dua minggu ia menginjak-kan kaki di negeri jiran lalu mendengar berita jika serambi makkah, tempatnya tinggal dulu dilanda gelombang maha dahsyat, segera setelah ia menyelesaikan surat kerjanya dan bertolak kembali ke aceh untuk mengetahui keadaan teman-temannya di sana.
Hampir tiga minggu setelah bencana itu datang, Anton baru bisa bertemu dengan Abas yang kondisi-nya saat itu jauh dikatakan baik-baik saja. Menjadi relawan membuatnya menyatu dengan masyarakat aceh yang belum sepenuhnya ia kenal. Dan akhirnya ia pun menemukan orang yang saat ini telah menjadi istrinya pada saat ia menjadi relawan.
"Untuk apa aku kembali. Tak ada siapa pun yang bisa ku kunjungi, apa aku hanya akan menjadi penonton pelepasan rindumu pada istrimu hah." Sanggah Abas menyadarkan Anton dari lamunan-nya.
"Mau sampai kapan?." Anton menatap Abas dalam. "Hidupmu itu terlalu berharga jika hanya kau gunakan untuk memenuhi egomu. Carilah apa yang belum kau temukan, bukan salahmu yang mencurigai-NYA, tapi kau hanya perlu sedikit penyadaran untukmu kembali." Anton kemudian pergi meninggal-kan Abas yang masih terdiam.
Mencari. Kata itu terus berputar dalam pikiran Abas, iya. Abas merasa dirinya kini sepi, hampa layaknya tanah gersang. Sudah hampir tujuh tahun lamanya ia menyandang kata waras setelah tiga tahun sebelumnya ia sempat kehilangan akal sehatnya, sehingga Abas harus menjalani perawatan di salah satu rumah sakit jiwa di Medan.
***
Siang begitu terik membuat sebagian orang enggan untuk keluar rumah. Abas yang saat itu tengah berjalan di salah satu jalan pusat kota johor Malaysia mengernyitkan dahi, menyeka peluh dan menelan ludah. Panas kering di tenggorokan-nya kini mulai mendera, ia menengokkan kepala ke kanan dan ke kiri melihat kondisi jalanan yang cukup sepi, kemudian ia menyeberang dan duduk di tepian trotoar. Lelah ia rasakan sekarang setelah berjalan ke sana kemari tanpa tujuan.
Abas hijrah ke malaysia tiga tahun yang lalu bersama Anton sahabatnya, bedanya Anton di sana bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan dirinya luntang lantung tanpa kepastian. Bekerja tidak, tapi perut harus diisi setiap hari. Awalnya Abas bekerja sebagai buruh kapal pengangkut ikan, tapi sekarang ia lebih senang bejalan ke sana kemari tanpa tujuan. Sejak kepulangan Anton beberapa bulan lalu ia sengaja keluar dari pekerjaan-nya dan mencari-entah apa yang ia cari, bahkan mungkin ia pun tidak tahu apa yang dicarinya. yang ada di otaknya hanyalah kata cari. Mencari keberadaan tuhan dan kebenaran-Nya.
"Minum paman!." Seruan itu membangun-kan Abas dari tidur ayamnya. Abas mendongakkan kepalanya meneliti wajah malaikat kecil di belakangnya itu. Wajahnya teduh sarat akan ketenangan dan mata itu begitu jernih bagai embun yang menyejukkan pagi. Nyaman. Abas merasa nyaman menatap wajah itu, mengingatkannya pada seseorang.
"Paman ayo ambil!." Abas ter-sadar, lalu tersenyum melihat gadis kecil di hadapannya itu.
"Paman belum jawab pertanyaan Ais." gadis itu meneliti wajah Abas. Abas tertegun
"Ya tuhan kenapa dia mirip sekali." celetuk Abas, tanpa sadar ia menyebut kata yang sudah sangat lama tak keluar dari mulutnya.
"Paman!. Apa yang sedang paman lakukan di sini?, berdoa seperti Ais?,ayo paman kita masuk. Kita berdoa bersama." berondong gadis kecil itu menarik lengan abas untuk mengikutnya masuk ke dalam bangunan itu.
Abas hanya melongo mendapat perlakuan sedemikian rupa dari seorang anak gadis yang belum dikenalnya sama sekali. Abas terperanjat saat dirinya menyadari gedung yang ia masuki itu adalah sebuah gereja, mengedarkan pandangan kesekelilingnya. Pikirannya saat ini tengah melayang entah ke mana, antara sadar dan tidak alam bawah sadarnya berdecak kagum melihat kemegahan bangunan itu, bukan hanya sekedar bangunannya yang mengagumkan tapi ornamen serta tata letak setiap kursi dan aksesorisnya terlihat menyatu. Atap yang tinggi menjulang membuat kesan ruangan itu lebih luas dari ukurannya.
"Tuhan, ku mohon pada-Mu pertemukanlah aku dengan keluargaku. Aku tahu kau sangat menyayangiku tapi izinkan aku untuk berterima kasih pada ayah dan ibuku. Kuatkan aku ya tuhan." ucap gadis kecil itu, duduk setengah berlutut menghadap patung yesus di ujung altar.
Abas terbelalak keheranan. Meneliti penampilan gadis cilik di depannya itu."Dia berjilbab, namanya pun Aisya, tapi-." pikirannya teralihkan saat tangannya diseret kembali oleh gadis cilik di depannya itu.
"Paman pasti heran melihat ku. Paman ingin tahu tidak jawabannya." Aisya mengedikan matanya dan tersenyum. Abas hanya terdiam mengamayi Aisya yang terus menyunggingkan senyum seolah dia memang benar-benar ditakdirkan untuk menebar senyum dimanapun ia berada.
Perlahan Aisya membuka penutup kepalanya, hingga memperlihatkan kulit kepalanya yang putih bersih tanpa sehelai rambut-pun. Abas semakin tercengang melihat itu, pikirannya semakin tidak terkendali penuh dengan pertanyaan yang tiba-tiba saja muncul.
***
"Paman aku bisa tersenyum karena tuhan memberi ku banyak cinta, karena cinta tuhan Dia mengambil ibu Ais bersamanya, karena cinta tuhan pula aku bisa hidup di sini sekarang."
Abas masih terus mencerna ucapan Aisya, gadis berusia sepuluh tahun itu sangat mencintai tuhannya. Benarkan tuhan itu penyayang?.
Abas semakin sering bertemu dengan Aisya, bercanda dan bermain bersama layaknya seorang ayah yang sedang bermain dengan anaknya.
Sore itu seperti biasanya Abas menunggu Aisya di gerbang gereja tempat mereka bertemu, tapi hampir satu jam ia menunggu gadis ciliknya itu belum datang juga. Cemas, entah kenapa ia merasa begitu dekat dengan Aisya, seperti ada ikatan batin dengan dirinya, dan saat ini Abas khawatir jika terjadi sesuatu dengannya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup barunya-setelah dinyatakan waras oleh rumah sakit jiwa, Abas menyebut kata tuhan dan berdoa. Meminta agar Aisya gadis kecil yang di tunggunya baik-baik saja.
"Paman Abas?." Tanya seseorang dari arah brlakang tubuhnya, Abas menoleh dan memberikan senyum membenarkan.
"Kenal Aisya?, maaf ada titipan untuk anda." Lanjut wanita itu dan duduk di samping Abas. menyerahkan amplop biru bertuliskan huruf arab yang menyebutkan surat itu untuk dirinya.
"Terima kasih karena anda telah membuat Aisya ku menjadi anak yang begitu manis akhir akhir ini. Tapi sayang dia harus terbaring lemah di penjara putih karena leukemia yang dideritanya sejak berusia lima tahun." ujar wanita di sampingnya itu menatap nanar kearah Abas. Abas hanya terdiam membaca secarik kertas yang ia terima dari wanita itu.
"Lebih dari sepuluh tahun lalu aku menemukan ibu Aisya yang sedang mengandung anak itu dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Saat itu aku sedang bertugas menjadi relawan asing di sebuah tempat salah satu posko bantuan bencana alam, setelah terjadi gelombang maha dahsyat di indonesia, tepatnya di aceh, ibunya adalah korban dari keganasan gelombang itu, tapi sayang ibunya harus meninggal terlebih dahulu. Kau tahu Aisya adalah keajaiban tuhan yang tak terduga karena ia lahir dalam kondisi prematur tujuh bulan dan kau tahu ... ibunya saat itu sudah dikatakan mati, tapi Aisya masih mendetakkan jatungnya sehingga ia bisa kami paksa untuk menyelamatkannya." Dering ponsel menghentikan penuturan wanita itu membuat Abas yang sedari tadi diam kini membuang nafasnya kadar.
"Maaf saya harus pergi, aisya mendapat serangan kembali." wanita itu kemudian pergi dengan cepat menuju mobil-nya. Abas yang baru menyadari ucapan wanita itu saat mendengar nama aisya disebut ia langsung mengekor di belakang wanita itu.
Pikirannya kembali kacau, saat iti yang ada di otaknya hanya nama Aisya yang memenuhi pikirannya, hatinya merasa sakit seperti ia tidak ingin kehilangan anak itu. Entahlah ia merasa Aisya adalah bagian hidupnya.
---
Mereka sedikit berlari ke arah ruangan di ujung lorong gedung yang di dominasi warna hijau muda dan putih tapi memberi kesan sejuk di sana. Abas bingung, bahkan ia belum tahu apa yang akan dilakukannya di sana. Sedangkan wanita itu ternyata seorang dokter bedah kanker.
Wanita itu kini sibuk bersama para tim medis menanganii serangan Aisya yang tiba-tiba kejang. Hampir dua jam mereka berada di dalam ruangan, wanita itu juga belum nampak keluar. Abas Menunggu dengan harap-harap cemas yang terus berkecamuk di dadanya. Abas berhenti bernafas sejenak saat ia melihat pintu di sampingnya yang terdapat Aisya di dalamnya terbuka dan melihat wanita itu keluar dengan sedikit senyuman. Abas mendekati wanita itu.
"Bagaimana?, apa dia baik-baik daja?." tanya-nys khawatir. Wanita di depannya hanya menggeleng dan menarik nafas panjang.
"Kami butuh donor sum-sum tulang belakang untuk transpalntasi hanya itu satu-satunya cara agar Aisya kembali hidup lebih lama."
"Aku bersedia menjadi pendonor sum-sum tulang belakang untuk Aisya." tegas Abas.
"Benarkan?, tapi ini riskan, juga belum tentu sumsum tulang belakang anda cocok dengan Aisya."
"Bismillah akan ku coba." Jawab Abas lantang. ia pun masih belum menyadari apa yang baru saja di ucapkannya.
Abas menjalani sederet pemeriksaan sebelum akhirnya dokter menyatakan sum-sum tulang mereka berdua memiliki kesamaan dan cocok. itu keajaiban besar, selama ini tim dokter di rumah sakit itu selalu mencarikan donor untuk Aisya tapi sayang, dari semua pendonor yang melakukan pemeriksaan, hanya Abas seorang yang dinyatakan cocok.
Gadis cilik nan cantik jelita, yang tak pernah kehilangan senyumnya meski hanya sedetik itu, kemungkinan besar adalah anaknya?, anak Abas dan Aisyah. Tapi bukankah Aisyah sudah meninggal?, dan bahkan abas sendiri belum pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri jasad istrinya itu, hanya ke simpang siuran kabar tentang istrinya lah yang beredar selama ini didengarnya. Akhirnya abas muak mendengar ketidak pastian itu dan hijrah ke Malaysia tempatnya kini tinggal dengan mencari, setitik arti tuhan yang kini mulai menyinari hidupnya.
***
Gelap. Abas terbangun dari tidur lelap-nya, matanya mengerjap mencari cahaya tapi tidak jua ia temui. semuanya gelap senyap dan mengerikan. Abas tidak tahu ia sedang berada di belahan dunia mana. Yang ia rasakan saat ini hanya sepi, sendiri tapi seperti ada yang mengawasinya dengan teliti, menelanjangi dirinya seprti akan dikuliti hingga habis.
Perlahan ada sedikit cahaya yang mulai mendekat, hingga Abas mampu melihat sebuah bayngan layaknya film yang sedang diputar ulang, gelombang dahsyat dan dirinya di sana dalam rengkuhan air asin beserta istrinya yang- "subhanallah" ucap Abas seketika melihat gambar sang istri yang tengah hamil tua itu terbaring mengapung di atas sajadah dengan damai, Abas terdiam mengamati sajadah itu. Ia tidak akan pernah lupa dengan sajadah yang telah ia jadikan mahar untuk istrinya itu dan selalu menemaninya untuk bertafakur meminta ridha tuhan agar mereka segera mendapat keturunan.
"Mas-kembalilah... belum saatnya mas untuk menemani-ku di sini, masih ada anak kita yang membutuhkanmu... ku mohon dia anakmu-anak kita." Gema suar itu terus mengusik hatinya dan bayangan Aisyh perlahan mengabur kembali gelap. Sunyi senyap dan pekat. Abas masih terus berkelana dengan pikirannya sendiri sampai ia merasakan ada benda dingin menempel di tubuhnya. Satu, dua ,tiga, tubuhnya terhempas beberapakai seperti dilemparkan dari ujung ke ujung, sakit tapi ia masih enggan membuka mata. Abas masih ingin mencari bayangan istrinya yang sangat ia rindukan. Seketika saat otaknya menyebut nama Aisyah ia kemudian teringat akan ucapan yang baru saja di tuturkan oleh Aisyah. Anaknya masih hidup. Aisya gadis yang telah merubah hidupnya sekarang menjadi lebih terasa hidup saat ini, setelah meragukan kuasa tuhan, dia adalah anak kandungnya. Anak yang mereka Aisyah dan dirinya tunggu selama enam tahun lamanya.
Otak Abas mencerna semua kata yangnia dengar, dalam pikirannya sendiri, lalu mengirimkan sinyal memerintah untuknya membuka mata. Perlahan Abas melihat cahaya terang di depannya kabur. Dan ia melihat ada beberapa kepala sedang mengerubunginya dan juga beberapa orang yang mengucap syukur menyebut nama Tuhannya.
Abas mengalami koma selama dua hari dan dinyatakan meninggal.
Kini hidupnya berubah kembali mengenal tuhan yang pernah ia lupakan padahal tuhannya tak pernah melupakannya sedetikpun. Serta malaikat yang kini selalu bersamanya benar-benar anugerah hidupnya.
Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan melebihi batas kekuatan manusia. Abas saat ini benar benar telah menemukan dirinya kembali serta makna tuhan yang sebenarnya. Tuhan itu satu, dan tuhan tidak pernah terlihat karena tuhan ada di dalam hati kita, selalu bersama kita, di hati kita sebagaimana kita meyakini-nya maka tuhan itu tetap ada di mana mana, karena tuhan tak pernah pergi dari hati hambanya. Dan abas telah menemukan tujuan hidupnya. Hidup untuk membahagikan aisya putri semata wayangnya, malaikat kecilnya yang elah mengembalikannya dari jalan gelap menuju cahaya-Nya.
***********